Beda Anak Laki-laki dan Perempuan dalam Bersahabat

Cara anak laki-laki dan perempuan memandang persabahatan berbeda, ungkap dr Thomas S. Jensen, MD, psikiater dari Babyzone.com. Saat beranjak dewasa, anak perempuan lebih mendefinisikan persahabatan sebagai teman yang mau mendengarkan dan mengerti, sekaligus tempat curhat dan berbagi emosi. Sementara anak-anak laki-laki memandang persahabatan sebagai teman berbagi waktu bersama, ada di sisinya saat ia menghadapi konflik, dan berbagi ketertarikan yang sama. Bagi anak laki-laki, keintiman emosional tak terlalu penting dalam mendefinisikan kedekatan hubungan ketimbang kesetiaan saat ia menghadapi masalah.

Kedekatan anak dan orangtua terbentuk dalam 24 bulan pertama kehidupannya. Kedekatan itu memiliki pengaruh besar terhadap hidup anak, termasuk melandasi hubungan di masa depan anak, begitu terang dr Michael Handwerk, PhD dari lembaga peneliti kesehatan anak di Nebraska, AS.

Kehadiran saudara juga memiliki pengaruh terhadap gaya persahabatan anak dalam cara positif dan negatif. Cara anak menghadapi saudaranya bisa memengaruhi caranya bersahabat di masa depan. Beebrapa anak cukup beruntung untuk bersahabat dengan saudaranya sendiri.

Menurut dr Jensen, cara anak laki-laki dan perempuan bersahabat serupa di awal usianya, atau hingga masa pre-school. Namun, cara anak laki-laki bersahabat mulai berubah sekitar usia 7 tahun, dan biasanya emosinya pun mulai berkurang. Hal ini bisa terlihat jika Anda memerhatikan interaksi anak-anak perempuan berteman dibanding sekumpulan anak-anak laki-laki saat bermain bersama. Anak perempuan umumnya lebih mudah bergaul, bermain kooperatif, mau menegosiasikan konflik, dan menunjukkan perasaan saat ia bermain rumah-rumahan, misalnya. Sementara anak laki-laki bermain dengan cara berbeda, mereka lebih cenderung bermain dengan cara kompetitif, mengetes kesetiaan teman, dan membandingkan kemampuan fisik dan ukuran.

Salah satu hal yang paling sering didebatkan adalah, mulai di usia 7 tahun, anak laki-laki mulai malas menunjukkan tindakan afeksi kepada orang-orang di sekitarnya, seperti berpelukan. Menurut dr Handwerk, sebenarnya anak laki-laki juga bisa menunjukkan tindakan afeksi sebebas anak perempuan, namun, di kesehariannya, baik itu melalui media sosial atau orang-orang di sekelilingnya tidak menunjukkan tindakan itu, alhasil ia tidak mau melakukan hal-hal afeksi itu, karena di pikirannya itu adalah tindakan yang khusus untuk perempuan yang lemah. Di masa sekarang, tindakan afeksi sudah cukup luwes, tindakan afeksi atau untuk membuat anak lebih terbuka dengan sentuhan afeksi dalam batas wajar bisa diajarkan lewat tindakan orangtuanya.